Selasa, 28 Maret 2023

KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 2.3 COACHING UNTUK SUPERVISI AKADEMIK

Oleh Ratri Swastika Wijayanti, M.Pd

Calon Guru Penggerak Angkatan 7 Kabupaten Bantul

 

 Di dalam Koneksi Antar Materi Modul 2.3 ini kita akan membahas tentang Coaching untuk Supervisi Akademik.

 Bagaimana peran Anda sebagai seorang coach di sekolah dan keterkaitannya dengan materi sebelumnya di paket modul 2 yaitu pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial dan emosi?

 Peran saya sebagai seorang coach di sekolah dan keterkaitannya dengan materi sebelumnya di paket modul 2 yaitu pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial dan emosi adalah Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa tujuan pendidikan adalah “menuntun” tumbuhnya kekuatan kodrat anak sehingga dapat memperbaiki lakunya. Oleh sebab itu keterampilan Coaching perlu dimiliki pendidik untuk menuntun segala kodrat (potensi) agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun anggota masyarakat. Proses Coaching sebagai komunikasi pembelajaran antara guru dan murid. Murid diberikan ruang kebebasan untuk menemukan kekuaran dirinya dan peran pendidik sebagai “pamong“ dalam memberi tuntunan dan memberdayakan potensi yang ada agar murid tidak kehilangan arah dan menemukan kekuaran dirinya tanpa membahayakan dirinya.

Sistem pamong, Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani menjadi semangat yang menguatkan pendekatan coaching. Tut Wuri Handayani menjadi kekuatan dalam pendekatan proses coaching dengan memberdayakan seorang guru (pendidik/pamong) dengan semangat Tut Wuri Hadayani. Maka perlu kita menghayati dan memaknai cara berpikir atau paradigma berpikir Ki Hajar Dewantara sebelum melakukan pendampingan dengan pendekatan coaching sebagai salah pendekatan komunikasi dengan semangat among (menuntun).

Sebagai seorang guru dengan semangat Tut Wuri Handayani maka perlulah kita menghayati dan memaknai cara berpikir atau mindset sebelum melakukan pendampingan dengan pendekatan coaching. Pendekatan komunikasi dengan proses coaching merupakan sebuah dialog antara guru dan murid yang terjadi secara emansipatif dalam sebuah ruang perjumpaan yang penuh kasih dan persaudaraan

  

Bagaimana keterkaitan keterampilan coaching dengan pengembangan kompetensi sebagai pemimpin  pembelajaran?

 Pendidik adalah penuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Pemikiran khd tersebut mengingatkan bahwa tugas pendidik sebagai pemimpin pembelajaran adalah menumbuhkan motivasi mereka untuk dapat membangun perhatian yang berkualitas pada materi dengan merancang pengalaman belajar yang mengundang dan bermakna. Kita merencanakan secara sadar pengetahuan keterampilan dan sikap yang dibutuhkan murid-murid untuk mewujudkan kekuatan atau potensinya.

Tujuan dari supervisi akademik adalah untuk mengembangkan kompetensi guru agar dapat melakukan pembelajaran yang berpihak pada murid. Untuk dapat melakukan itu diperlukan paradigma berpikir bertumbuh dan keberpihakan pada murid. Apapun pendekatan yang digunakan untuk pengembangan kompetensi kesemuanya diawali dengan paradigma berpikir yang memberdayakan disebutkan di atas bahwa salah satu pendekatan yang memberdayakan adalah pendekatan coaching. Mengapa coaching menjadi pendekatan yang memberdayakan? Karena diawali dengan paradigma berpikir coaching. Salah satu tujuan pengembangan kompetensi diri adalah agar guru menjadi otonom yaitu dapat mengarahkan mengatur mengawasi dan memodifikasi diri secara mandiri (self directed, self manager, self monitor dan self modify). Untuk dapat membantu guru menjadi otonom diperlukan paradigma berpikir dan prinsip coaching bagi orang yang mengembangkan.

.

 

A.     Pemikiran reflektif terkait pengalaman belajar

1.      Pengalaman/materi pembelajaran yang baru saja diperoleh 

Pada modul 2.3 saya mempelajari tentang coaching yang merupakan proses kolaborasi yang berfokus pada solusi berorientasi pada hasil dan sistematis di mana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri dan pertumbuhan pribadi dari coachee. Sistem Among, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani menjadi semangat yang menguatkan keterampilan komunikasi guru dan murid dengan menggunakan pendekatan coaching. Tut Wuri Handayani menjadi kekuatan dalam pendekatan proses coaching dengan memberdayakan semua kekuatan diri pada murid. Sebagai seorang pendidik atau pamong dengan semangat Tut Wuri Handayani maka perlulah kita menghayati dan memaknai cara berpikir atau paradigma berpikir Ki Hajar Dewantara sebelum melakukan pendampingan dengan pendekatan coaching sebagai salah satu pendekatan komunikasi dengan bersemangat among/menuntun.

Ada 4 cara berpikir yang dapat melatih guru dalam menciptakan semangat Tut Wuri Handayani dalam setiap perjumpaan pada setiap proses komunikasi dan pembelajaran yaitu (1) murid adalah mitra belajar, (2) dialog yang emansipatif (3) tercipta ruang perjumpaan antara guru dan murid, (4) kasih dan persaudaraan.

Mitra belajar atau teman belajar guru sejatinya memiliki cara berpikir bahwa dalam proses coaching keduanya memiliki kesepahaman yang sama tentang belajar. Ketika mendengarkan murid Guru belajar mengenali kekuatan dirinya dan juga mengenali kekuatan diri muridnya secara mendalam. Demikian pula sebaliknya tuntunan yang diberikan guru memberikan ruang bagi murid untuk menemukan kekuatan dirinya sebagai murid dan sebagai manusia kecil yang sedang belajar. Ketika guru menciptakan dialog yang apresiatif bersama muridnya maka guru telah membuka dirinya untuk memberikan apresiasi terhadap proses belajarnya bersama mereka.

Yang kedua adalah dialog yang dengan emansipatif. Proses coaching membuka ruang emansipatif bagi guru dan murid untuk merefleksikan kebebasan mereka melalui kesepakatan dan pengakuan bersama terhadap norma-norma yang mengikat. Ruang emansipatif memberi peluang bagi murid untuk menemukan kekuatan kodratnya potensi dirinya dan kekuatan yang dimilikinya melalui dialog atau percakapan yang jelas. Sedangkan kesepakatan dan pengakuan bersama terhadap norma-norma ada seperti percakapan yang terjadi di bangun berdasarkan rasa percaya yang kuat antara guru dan muridnya, tercipta rasa hormat dan saling menghargai antara guru dan murid, serta guru berdialog dengan murid sesuai dengan tahapan perkembangan diri murid.

Yang ketiga adalah tercipta ruang perjumpaan pribadi antara guru dan murid. Proses coaching merupakan sebuah ruang perjumpaan pribadi antara guru dan murid sehingga keduanya membangun rasa percaya dalam kebebasan masing-masing. Murid merasa nyaman dan bebas berdialog dengan guru karena ia percaya bahwa gurunya juga memberikan rasa percaya dan apresiasi terhadap setiap perjumpaan yang terjadi. Percakapan yang efektif terjadi memberikan ruang reflektif bagi murid untuk menemukan kekuatan dirinya.

Yang terakhir adalah ada kasih dan persaudaraan dalam setiap perjumpaan antara guru dan murid. Proses coaching sebagai sebuah latihan menguatkan semangat Tut Wuri Handayani Yaitu mengikuti, mendampingi/mendorong kekuatan kodrat murid secara politik berdasarkan cinta kasih dan persaudaraan tanpa pamrih tanpa keinginan menguasai dan memaksa. Murid adalah seorang manusia yang memiliki kebebasan untuk mendapatkan cinta kasih. Guru hadir dalam setiap perjumpaan untuk menciptakan kasih dan persaudaraan tanpa ikatan atau belenggu tanpa menghakimi tanpa memberikan asumsi tanpa memberikan asosiasi antara diri murid dan kehidupannya. Percakapan penuh kasih dan persaudaraan menjadi kekuatan guru untuk menciptakan pembelajaran yang berpihak pada murid.

Untuk dapat membantu rekan sejawat  untuk mengembangkan kompetensi diri mereka dan menjadi otonom, kita perlu memiliki paradigma berpikir coaching terlebih dahulu. Paradigma tersebut adalah:

a.      Fokus pada coachee/rekan yang akan dikembangkan

b.      Bersikap terbuka dan ingin tahu

c.      Memiliki kesadaran diri yang kuat

d.      Mampu melihat peluang baru dan masa depan

2.      Emosi-emosi yang dirasakan terkait pengalaman belajar 

Saat mempelajari mode 2.3 dimulai dari pembelajaran Mulai dari Diri sampai Aksi Nyata secara mandiri ataupun diskusi asinkron bersama rekan CGP yang lain tentang materi coaching dalam supervisi akademik membuat saya semakin memahami materi model 2.3 sehingga menambah motivasi belajar saya melalui proses diskusi dalam kelompok LMS. Pada saat sesi ruang kolaborasi memberikan kesempatan untuk berinteraksi secara langsung dengan rekan CGP untuk mempraktikkan coaching secara langsung. Hhal tersebut membuat saya senang karena dapat berbagi pengetahuan dan belajar dengan rekan CGP. Untuk bagian demonstrasi kontekstual menambah pengalaman belajar dan saling berkolaborasi dalam kegiatan praktek coaching dengan tiga rekan CGP. Pada saat sesi elaborasi dengan instruktur menjadikan saya lebih memahami lagi tentang materi model. Hal yang paling menarik saat melakukan aksi nyata di mana saya berlatih menjadi seorang supervisor. Kegiatan supervisi akademik dengan menggunakan coaching merupakan pengalaman pertama dalam mengimplementasikan praktek coaching dalam kegiatan supervisi akademik pengalaman yang menarik dan menjadikan sebuah proses pembelajaran yang sangat berkesan.

 

3.      Apa yang sudah baik berkaitan dengan keterlibatan dirinya dalam proses belajar 

Hal yang sudah baik dalam keterlibatan proses coaching melalui supervisi akademik yaitu saya menjadi lebih memahami alur atau proses coaching yang pada intinya proses untuk menggali potensi orang yang disupervisi. Dalam kegiatan coaching supervisi akademik saya menggunakan prinsip coaching yaitu kemitraan, proses kreatif, dan memaksimalkan potensi. Dalam kegiatan coaching 3 kompetensi yang selalu saya kembangkan yaitu kehadiran penuh, mendengarkan aktif dan mengajukan pertanyaan berbobot.

 

4.      Apa yang perlu diperbaiki terkait dengan keterlibatan dirinya dalam proses belajar 

Hal yang belum saya perbaiki terkait dengan ketelibatan diri saya adalah bagaimana menyelaraskan pemahaman supervisi akademik sejatinya adalah untuk membantu rekan sejawat menemukan solusi atas permasalahannya, bukan untuk menilai atau mencari kesalahan dari pembelajaran yang dilaksanakan. Hal ini tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi saya, karena untuk menyelaraskan pemahaman ini membutuhkan proses dan waktu yang lumayan panjang karena terkaot regulasi yang sudah ebrjalan dimana supervise akademik dimaknai menjadi sebuah proses penilaian kinerja.

Untuk mengatasi masalah tersebut saya dapat menlakukan sosialisasi tentang apa sebenarnya supervisi akademik menggunakan konsep coaching itu beserta contoh penerapan nyata, dan membangun komunikasi dan koordinasi yang baik dengan rekan sejawat, sehingga ketika menghadapi masalah tidak segan untuk meminta disupervisi.

 

5.      Keterkaitan terhadap kompetensi dan kematangan diri pribadi

Keterkaitan terhadap kompetensi dan kematangan diri pribadi adalah dengan kegiatan coaching ini, saya bisa mengembangkan diri sendiri dan orang lain. Saat coaching saya bisa mengambil sebuah pengalaman dari orang lain yang nantinya bisa saya jadikan sebagai refleksi dan tindak lanjut untuk saya sendiri. Selain itu dalam proses coaching supervisi akademik ini, saya bisa merencanakan pengembangan diri dari kompetensi yang belum maksimal. Secara pribadi kegiatan coaching mampu mengasah kematangan diri pribadi menjadi orang yang lebih dewasa dalam hal pengambilan keputusan dan menghargai solusi yang disampaikan coachee saat kegiatan coaching.

Percakapan-percakapan coaching membantu saya berpikir lebih dalam (metakognisi) dalam menggali potensi yang ada dalam diri dan komunitas sekolah sekaligus menghadirkan motivasi internal sebagai individu pembelajar yang berkelanjutan yang akan diwujudnyatakan dalam buah pikir dan aksi nyata demi tercapainya pembelajaran yang berpihak pada murid.

 

B.     Analisis untuk implementasi dalam konteks CGP

1.      Memunculkan pertanyaan kritis yang berhubungan dengan konsep materi dan menggalinya lebih jauh

Seperti kita ketahui bersama, di sekolah kita melakukan supervisi akademik untuk mengembangkan kompetensi mengajar guru yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas proses belajar di kelas. Prinsip dan paradigma berpikir coaching ini sangat bisa digunakan dalam proses supervisi ini, agar semangat yang lebih mewarnai proses supervisi adalah semangat yang memberdayakan, bukan mengevaluasi. Kita ketahui bersama bahwa supervisi akademik memiliki tujuan untuk mengevaluasi kompetensi mengajar guru dan proses belajar di kelas. Pertanyaannya, apakah kita bisa mengevaluasi dan juga sekaligus memberdayakan? Costa dan Garmston (2016) menyampaikan bahwa kita bisa memberdayakan guru melalui coaching, kolaborasi, konsultasi, dan evaluasi, yang interaksinya bergantung kepada tujuan dan hasil yang diharapkan. Namun, posisi awal yang kita ambil adalah posisi sebagai seorang coach, sebelum kita mengetahui tujuan dan hasil yang diharapkan oleh guru yang akan kita berdayakan. Oleh sebab itu, prinsip dan paradigma berpikir coaching ini perlu selalu ada sebelum kita memberdayakan seseorang.

Dalam Pasal 10 ayat 2 Standar Nasional Pendidikan disampaikan bahwa pelaksanaan pembelajaran diselenggarakan dalam suasana belajar yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, dan memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, kemandirian sesuai dengan bakat minat dan perkembangan fisik secara psikologis.. Oleh karena itu penting kiranya bagi kita memastikan bahwa supervisi akademik yang kita jalankan benar-benar berfokus pada proses pembelajaran sebagaimana yang tertuang dalam standar proses tersebut. Selain bertujuan untuk memastikan pembelajaran yang berpihak pada murid supervisi akademik juga bertujuan untuk pengembangan kompetensi diri dalam setiap pendidik di sekolah sebagaimana tertuang dalam standar tenaga kependidikan pada standar proses tersebut. Selain bertujuan untuk memastikan pembelajaran yang berpihak pada murid supervisi akademik juga bertujuan untuk pengembangan kompetensi diri dalam setiap pendidik di sekolah sebagaimana tertuang dalam standar tenaga kependidikan pada standar nasional pendidikan pasal 20 ayat 2. Rangkaian supervisi akademik ini digunakan kepala sekolah untuk mendorong ruang perbaikan dan pengembangan diri guru di sekolahnya.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah kepala sekolah seperti apakah yang dapat mendorong kita sebagai warga sekolah yang untuk selalu mengembangkan kompetensi diri dan senantiasa memiliki ground mindset serta keberpihakan pada murid?

Jawabannya adalah pemimpin sekolah yang dapat mengidentifikasi kebutuhan pengembangan kompetensi diri dan orang lain dengan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan tersebut.

 

2.      Mengolah materi yang dipelajari dengan pemikiran pribadi sehingga tergali wawasan (insight) baru

Coaching sebagai kompetensi membangun kemitraan. Kemitraan dalam proses coaching dapat terbangun dan membuka peluang akselerasi kesadaran yang mendorong tindakan aksi ketika dilandasi rasa percaya coachee terhadap coach. Dalam prosesnya kita tidak perlu memandang kesenjangan jabatan karena supervisi akademik terjadi proses kolaborasi antara coach dan coachee (mitra). Itu berarti setara, tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah. Coachee adalah sumber belajar bagi dirinya sendiri. Coach merupakan rekan berpikir bagi coachee-nya dalam membantu coachee belajar dari dirinya sendiri. Coach bisa berbagi mengenai pengalamannya yang terkait dengan topik pengembangan coachee, jika diminta oleh coachee, sebagai salah satu sumber belajar bagi coachee. Kemitraan ini diwujudkan dengan cara kita membangun kesetaraan dengan orang yang akan kita kembangkan, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah di antara keduanya. Kesetaraan dapat dibangun dengan cara menumbuhkan rasa percaya diri kita, pada saat kita akan mengembangkan rekan sejawat yang lebih tua, lebih senior, dan atau lebih berpengalaman. Sebaliknya, kita perlu menumbuhkan rasa rendah hati pada saat rekan sejawat yang akan kita kembangkan adalah rekan yang lebih muda, lebih junior, dan atau memiliki pengalaman yang lebih sedikit dari kita.


3.      Menganalisis tantangan yang sesuai dengan konteks asal CGP (baik tingkat sekolah maupun daerah)

Tantangan dalam mengimplementasikan coaching di sekolah yaitu ketika dihadapkan pada rekan yang dilihat memiliki beban masalah tetapi sulit untuk terbuka ketika kita mencoba mengajak berbicara dengan paradigma berfikir coaching. Selain itu ketika berhadapan dengan rekan yang lebih senior yang belum terbiasa dengan paradigma berpikir coaching sebagai seorang coach mendapat label menggurui.


4.      Memunculkan alternatif solusi terhadap tantangan yang diidentifikasi.

Bagaimana alternatif solusi untuk tantangan yang ada dalam proses coaching berusaha menjadi seorang coach yang mampu membangun kemitraan yang baik dengan coachee, berusaha menjadi pendengar yang aktif, memiliki kemampuan komunikasi yang baik, sehingga proses coaching mampu membuat coachee merasa nyaman dan terbuka. Sehingga  dapat menghasilkan proses coaching yang maksimal yaitu terpecahnya masalah yang dialami coachee dengan solusi-solusi dari cachee itu sendiri.

C.     Membuat keterhubungan

1.      Pengalaman masa lalu

Saya secara rutin 3 bulan sekali disupervisi oleh Kepala Sekolah. Baik itu supervisi pembelajaran di kelas ataupun supervisi administrasi. Perasaan saya setiap kali disupervisi ada rasa gugup. Takut ada kesalahan atau kekurangan saat supervisi dilaksanakan.

Berdasarkan pengalaman saya, saat observasi saya pertama gugup. Walaupun mungkin sudah dipersiapkan sebaik mungkin tapi perasaan itu tetap ada. Karena saat supervisi pembelajaran, sikap murid yang tidak bisa diprediksi atau tidak bisa sesuai dengan apa yang kita harapkan membuat rencana yang sudah saya buat bisa berubah sedikit menyesuaikan keadaan di kelas. Saya mengharapkan anak anak bisa berdiskusi dengan aman dan kondusif, tetapi saat supervisi berlangsung tiba-tiba ada anak yang membuat keributan sehingga mengganggu pembelajaran yang akhirnya hasil supervisi tidak bisa seperti yang diinginkan.  Maka setelah kegiatan supervisi akhirnya tidak memuaskan. Tetapi dari hasil supervise yang tidak seperti yang diharapkan, maka ada evalusi dan refleksi yang dilakukan agar saya bisa mempersiapkan diri jika ada hal seperti itu terjadi lagi. Dan selama ini supervisi akademik yang kami lakukan hanya berfokus pada penilaian kinerja saat pembelajaran di kelas bukan pada solusi dari permasalahan yang ada dikelas.

 

2.      Penerapan di masa mendatang

a.    Secara aktif menetapkan tujuan, membuat rencana, dan menentukan cara untuk mencapainya dalam meningkatkan kompetensi dan kematangan diri saya.

b.    Menfasilitasi guru lain dalam mengevaluasi pembelajaran berdasarkan data dan tingkat pencapaian murid.

c.    Terampil menerapkan pendekatan coaching untuk pengembangan diri, guru dan rekan sejawat.

 

3.      Konsep atau praktik baik yang dilakukan dari modul lain yang telah dipelajari

Peran sebagai seorang coach di sekolah dan keterkaitannya dengan materi sebelumnya pada paket modul 2.1 dan 2.2 yaitu pembelajaran diferensiasi dan pembelajaran sosial emosional adalah di dalam kompetensi coaching dan alur Tirta sebagai alur percakapan coaching seorang coach harus melakukan kehadiran penuh atau presence. Salah satu teknik yang bisa digunakan yaitu STOP dan mindfulness  yang sudah dipelajari pada modul 2.2 tentang pembelajaran sosial dan emosional. Salah satu prinsip coaching yaitu memaksimalkan potensi dan memberdayakan rekan sejawat sehingga percakapan perlu diakhiri dengan suatu rencana aksi yang diputuskan oleh rekan yang dikembangkan. Potensi coachee yang beragam membuat keterampilan sosial emosional diperlukan untuk memaksimalkan potensi coaching.

 

4.      Informasi yang didapat dari orang atau sumber lain di luar bahan ajar PGP.

Penting coaching dalam Konteks Pendidikan

·           Proses untuk mengaktivasi kerja otak murid.

·           Pertanyaan-pertanyaan reflektif dapat membuat murid melakukan metakognisi.

·           Pertanyaan-pertanyaan dalam proses coaching juga membuat murid lebih berpikir secara kritis dan mendalam sehingga murid dapat menunjukkan potensinya

 


Minggu, 05 Maret 2023

KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 2. 2. PEMBELAJARAN SOSIAL DAN EMOSIONAL


 PEMBELAJARAN SOSIAL DAN EMOSIONAL

Oleh : Ratri Swastika Wijayanti, M.Pd

Calon Guru Penggerak Angkatan 7 Kabupaten Bantul


        Bapak dan Ibu Guru,  meningkatnya jumlah kasus perundungan, tawuran, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, pernikahan usia dini dan kehamilan di bawah usia, murid yang memiliki motivasi belajar rendah, hingga putus sekolah, murid dengan gangguan emosional seperti stress, kecemasan, depresi, bahkan kasus bunuh diri pada usia remaja, menunjukkan masih lemahnya perkembangan sosial dan emosional bagi para murid kita. Maka bagaimana sebagai seorang guru dapat menumbuhkan Kompetensi sosial dan emosional murid? Mari kita pelajari pembelajaran sosial emosional dan keterkaitannya dengan materi sebelumnya.

Apa kesimpulan tentang perubahan pengetahuan, keterampilan, sikap sebagai pemimpin pembelajaran setelah mempelajari pembelajaran sosial dan emosional?

        Kesadaran akan proses pendidikan yang dapat menuntun tumbuh kembang murid secara holistik sudah menjadi perhatian pendidik sejak lama. Kesadaran ini berawal dari teori Kecerdasan Emosi Daniel Goleman, dikembangkan CASEL (Colaborative for Academic, Social and Emotional Learning) pada tahun 1995 (www.casel.org) sebagai konsep Pembelajaran Sosial dan Emosional (PSE). Kerangka Kompetensi sosial dan emosional CASEL menggunakan pendekatan yang sistematis yang menekankan pada pentingnya menciptakan lingkungan belajar yang tepat serta terkoodinasi untuk  meningkatkan pembelajaran akademik, sosial dan emosional semua murid.

    Pembelajaran sosial dan emosional atau PSE adalah pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah proses kolaborasi ini memungkinkan anak dan orang dewasa di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan keterampilan dan sikap positif mengenai aspek sosial dan emosional.

    Adapun tujuannya adalah memberikan pemahaman Penghayatan dan kemampuan untuk mengelola emosi (kesadaran diri) menetapkan dan mencapai tujuan positif atau (pengelolaan diri), merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain (kesadaran sosial), membangun dan mempertahankan hubungan yang positif (keterampilan berelasi) dan membuat keputusan yang bertanggung jawab (pengambilan keputusan yang bertanggung jawab).

   Pendekatan pembelajaran sosial dan emosional melalui kemitraan/kerjasama sekolah-keluarga-komunitas untuk membentuk lingkungan belajar dan pengalaman yang bercirikan hubungan/relasi yang saling mempercayai dan berkolaborasi, kurikulum dan instruksi belajar yang jelas bermakna, dan evaluasi secara berkala.


Kompetensi Sosial dan Emosional (KSE)
  1. Kesadaran diri, yaitu kemampuan untuk memahami perasaan, emosi, dan nilainilai diri sendiri, dan bagaimana pengaruhnya pada perilaku diri dalam berbagai situasi dan konteks kehidupan.
  2. Manajemen diri, yaitu Kemampuan untuk mengelola emosi, pikiran, dan perilaku diri secara efektif dalam berbagai situasi dan untuk mencapai tujuan dan aspirasi.
  3. Kesadaran sosial, Kemampuan untuk memahami sudut pandang dan dapat berempati dengan orang lain termasuk mereka yang berasal dari latar belakang, budaya, dan konteks yang berbedabeda. 
  4. Keterampilan berelasi, Kemampuan untuk membangun dan mempertahankan hubungan-hubungan yang sehat dan suportif. 
  5. Pengambilan Keputusan yang Bertanggung Jawab, Kemampuan untuk mengambil pilihan-pilihan membangun yang berdasar atas kepedulian, kapasitas dalam mempertimbangkan standar-standar etis dan rasa aman, dan untuk mengevaluasi manfaat dan konsekuensi dari bermacam-macam tindakan dan perilaku untuk kesejahteraan psikologis (well-being) diri sendiri, masyarakat, dan kelompok.
      5 (lima) Kompetensi Sosial dan Emosional tersebut bisa didasari dengan kesadaran penuh (mindfulness). Kesadaran penuh, yaitu kesadaran yang muncul ketika seseorang memberikan perhatian secara sengaja pada kondisi saat sekarang dilandasi rasa ingin tahu (tanpa menghakimi) dan kebaikan. Praktik kesadaran penuh (mindfulness) bukan sebagai solusi pemecahan masalah, melainkan praktik yang membantu dalam menyikapi, memproses, dan merespon permasalahan yang dihadapi untuk fokus pada situasi saat ini - bukan pada kekhawatiran akan masa yang akan datang ataupun penyesalan akan masa yang telah berlalu. Praktik paling mendasar dan sederhana adalah melatih dan menyadari napas. Salah satu teknik melatih napas adalah Teknik STOP. Teknik ini dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja, dan tanpa membutuhkan peralatan.

Contoh teknik lain

Implementasi pembelajaran sosial dan emosional di kelas dan sekolah:



     Dari semua itu maka dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran sosial dan emosional berbasis kesadaran penuh secara terhubung, terkoordinasi, aktif, fokus, dan eksplisit, dapat mendukung terwujudnya well-being ekosistem sekolah. 

Apa kaitan pembelajaran sosial dan emosional yang telah anda pelajari dengan modul-modul sebelumnya?

  1. Melalui pembelajaran sosial emosional guru dapat menciptakan Well-being dalam ekosistem pendidikan di sekolah sehingga tercipta kondisi nyaman, sehat, dan bahagia bagi murid. Hal ini sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara yakni menuntun kodrat anak agar dapat mencapai kebahagiaan dan keselamatan yang setinggi-tingginya sehingga anak menemukan kemerdekaan dalam proses belajarnya.
  2. Guru penggerak memiliki nilai-nilai berpihak pada murid yaitu reflektif, inovatif, kolaboratif, dan mandiri. Untuk dapat mewujudkan pembelajaran sosial emosional melalui perannya yaitu mewujudkan kepemimpinan pada murid melalui nilai dan perannya tersebut. Guru dapat menciptakan well-being dalam ekosistem pendidikan di sekolah sehingga tercipta kondisi nyaman sehat dan bahagia bagi murid.
  3. Melalui pembelajaran sosial emosional yang mengintegrasikan kelima komponen sosial emosional, guru dapat mewujudkan visi yang diharapkan yaitu dapat membentuk karakter murid yang beriman, merdeka berekspresi, bahagia, kreatif, mandiri, dan menjadi pembelajar sejati sehingga terwujud profil belajar Pancasila.
  4. Melalui pembelajaran sosial emosional yang mengintegrasikan kelima komponen sosial emosional guru dapat mengenali dan memahami emosi masing-masing yang sedang dirasakan sehingga mampu mengontrol diri dan dapat menerapkan disiplin positif secara baik sesuai dengan kesadaran diri atau self awareness.
  5. Melalui pembelajaran sosial emosional guru dapat melakukan pembelajaran dengan menggunakan teknik identifikasi perasaan, identifikasi emosi, menuliskan ucapan terima kasih, bermain peran, dan lain-lain. Sehingga guru mampu menerapkan pembelajaran diferensiasi di kelas sesuai dengan kebutuhan belajar murid guna mewujudkan merdeka belajar.

Kesimpulan

  1. Sebelum mempelajari modul ini, saya berpikir bahwa pembelajaran sosial emosional tidak penting dilakukan dalam menciptakan belajar yang aman dan nyaman agar seluruh individu di sekolah dapat meningkatkan kompetensi akademik dan kesejahteraan psikologis sehingga saya jarang mengimplementasikan pembelajaran sosial dan emosional di kelas saya. Setelah mempelajari modul ini, ternyata sebenarnya saya sudah melakukan 5 kompetensi sosial dan emosional di pembelajaran saya, hanya saya tidak sadar atau tidak tahu kalau yang saya lakukan adalah kegiatan pembelajaran sosial dan emosional.
  2. Berkaitan dengan kebutuhan belajar dan lingkungan yang aman dan nyaman untuk memfasilitasi seluruh individu di sekolah agar dapat meningkatkan kompetensi akademik maupun kesejahteraan psikologis (well-being),  3 hal mendasar dan penting yang saya pelajari adalah:

  • Pentingnya Pembelajaran Sosial dan Emosional untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman agar seluruh individu di sekolah agar dapat meningkatkan kompetensi akademik maupun kesejahteraan psikologis (well-being) secara optimal.
  • Cara penerapan konsep Pembelajaran Sosial dan Emosional berdasarkan kerangka kerja CASEL (Colaborative of Academic, Social and Emotional Learning) yang bertujuan untuk mengembangkan 5 (lima) Kompetensi Sosial dan Emosional (KSE), yaitu kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.
  • Mengimplementasikan Pembelajaran Sosial dan Emosional berbasis kesadaran penuh (mindfulness) melalui pengajaran eksplisit, integrasi dalam praktek mengajar, dan kurikulum akademik, penciptaan iklim kelas dan budaya sekolah, dan penguatan kompetensi sosial dan emosional pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah.

3. Berkaitan dengan no 2, perubahan yang akan saya terapkan di  kelas dan sekolah:

    Bagi murid-murid :

  • melibatkan murid dalam membuat keyakinan kelas atau peraturan sekolah untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman
  • memberikan kesempatan kepada murid untuk merefleksikan proses pembelajaran yang sudah diikuti (misalnya apa yang disukai, mudah, menantang, ingin dipelajari lebih lanjut sebelum melanjutkan pembelajaran berikutnya)
  • menerapkan kesadaran penuh (mindfulness) dalam pembelajaran di kelas untuk mewujudkan kesejahteraan psikologis (well-being)

    Bagi teman sejawat:

  • Memberikan kesempatan pendidik dan tenaga kependidikan secara regular untuk mengembangkan kompetensi sosial, emosional dan budaya mereka sendiri, berkolaborasi, membangun hubungan saling percaya dan memelihara komunitas yang erat.
  • Memodelkan (menjadi teladan) dalam menerapkan kompetensi sosial, emosional dalam peran dan tugas, menciptakan budaya mengapresiasi dan menunjukkan kepedulian.
  • Merefleksikan kompetensi sosial emosional pribadi dan mengembangkan kapasitas untuk mengimplementasikan  kompetensi sosial emosional dengan cara membiasakan merefleksikan kompetensi sosial dan emosional pribadi, berkolaborasi di tempat kerja, mengembangkan pola pikir bertumbuh, meluangkan waktu untuk melakukan self-cara (perawatan diri) dan mengagendakan sesi berbagi praktik baik.
  • Menciptakan komunitas pembelajaran professional atau pendampingan sejawat bagi pendidik dan tenaga kependidikan untuk berkolaborasi tentang cara mengasah stategi untuk mempromosikan KSE di seluruh sekolah dengan cara membuat kesepakatan bersama sama, membuat system mentoring rekan sejawat, dan mengintegrasikan kompetensi sosial dan emosional dalam pelaksanaan rapat guru.

Senin, 30 Januari 2023

MODUL 1.4 BUDAYA POSITIF

 Budaya Positif

    Budaya positif di sekolah sangatlah penting untuk mengembangkan anak-anak yang memiliki karakter kuat sesuai profil pelajar Pancasila. Maka seorang guru harus mampu memahami pentingnya membangun budaya positif di sekolah sesuai dengan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara yaitu pendidikan yang berpihak pada murid. Seorang guru harus bisa mengimplementasikan peran seorang pemimpin kelas atau sekolah dalam mengerakkan dan memotivasi warga sekolah agar memiliki, meyakini dan menerapkan visi atau nilai-nilai kebajikan yang disepakati, sehingga tercipta budaya profil yang berpihak pada murid.

      Dalam membangun budaya positif tersebut, guru mampu meninjau lebih dalam tentang strategi menumbuhkan lingkungan yang positif. Guru diajak melakukan refleksi atas penerapan disiplin yang dilakukan selama di lingkungannya. Selain itu guru juga harus memikirkan kembali kebutuhan-kebutuhan dasar yang sedang dibutuhkan seorang murid pada saat mereka berperilaku tidak pantas, serta strategi apa yang perlu diterapkan yang berpihak pada murid. 

Guru yang memiliki kontrol sebagai manajer maka mampu menjalankan pendekatan disiplin yang dinamakan Restitusi. Pendekatan Restitusi fokus untuk mengembangkan motivasi instrinsik pada murid yang selanjutnya dapat menumbuhkan murid-murid yang bertanggung jawab, mandiri dan merdeka. 

Dalam menjalankan tugas, seorang pemimpin sekolah hendaknya berjiwa kepemimpinan serta dapat mengembangkan sekolah dengan baik yaitu menciptakan lingkungan yang positif sehingga terwujud suatu budaya positif.

Berikut penerapan budaya positif yang dilakukan di SD 1 Trirenggo dan pelaksanaan Diseminasi oleh Ratri Swastika selaku CGP Angkatan 7 Kab Bantul.




 

Kamis, 08 Desember 2022

 Tugas Diklat Kepala Perpustakaan Angkatan IX Tahun 2022

Materi: Literasi Informasi


Berikut kami sampaikan tugas pembuatan Program Literasi Informasi di SD 1 Trirenggo




Selasa, 06 Desember 2022

 KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 1.3

VISI GURU PENGGERAK
___

Ratri Swastika Wijayanti

CGP_A7 Kabupaten Bantul


Apa yang Bapak/Ibu pahami mengenai kaitan peran pendidik dalam mewujudkan filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Profil Pelajar Pancasila pada murid-muridnya dengan paradigma inkuiri apresiatif (IA) di sekolah Bapak/Ibu?


Dalam modul 1.3 mempelajari tentang Visi Guru Penggerak. J.B Whittaker mengatakan visi yakni gambaran masa depan yang akan dipilih dan yang akan diwujudkan pada suatu saat yang ditentukan. Visi dapat dikatakan sebagai sebuah imajinasi. Einstein mengatakan bahwa imajinasi merupakan tahap kecerdasan yang sebenarnya. Imajinasi menstimulasi adanya kemajuan dan melahirkan evolusi. Visi itu bagaikan membayangkan sebuah lukisan lengkap pada kanvas yang masih kosong. Visi juga dapat diibaratkan sebagai bintang penunjuk arah yang memandu penjelajah untuk mencapai tujuannya. Visi memang belum terjadi saat ini, namun begitu kuat kita inginkan untuk terwujud di masa depan. Visi adalah representasi visual kita akan masa depan. Penggambaran visi yang jelas tentang keadaan di masa depan dapat membantu kita untuk merencanakan dan menyelaraskan upaya-upaya mewujudkannya. Dari pemahaman tersebut, visi merupakan hal fundamental yang perlu dimilik. Visi berbasis pada kekuatan kata untuk menggerakkan hati, menyemangati, menguatkan untuk melangkah maju secara kolaborasi.

         Visi seorang guru harusnya sejalan dengan Filosofi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat, demi terciptanya kesejahteraan siswa (student wellbeing.)

Gambar 1. Interpretasi atas Maksud Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Dalam proses menuntun murid perlu disesuaikan dengan kodrat alam dan kodrat zaman murid. Seorang pamong dapat memberikan tuntunan agar murid dapat menemukan kemerdekaannya dalam  belajar. Proses tersebut dapat dengan Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani. Dari hal ini dapat dipahami, bahwa fokus utama guru dalam menyusun visi hendaknya selalu ingat segala kepentingan anak-anak didik, baik mengenai hidup diri pribadinya maupun kemasyarakatannya, jangan sampai meninggalkan segala kepentingan yang berhubungan dengan kodrat keadaan, baik pada alam maupun zaman. Selain itu hendaknya selalu disesuaikan dengan dasar-dasar dan asas-asas hidup kebangsaan yang bernilai dan tidak bertentangan dengan sifat-sifat kemanusiaan.

Ki Hadjar Dewantara mengemukakan bahwa dalam proses menuntun, diri anak perlu merdeka dalam belajar serta berpikir, dituntun oleh para pendidik agar anak tidak kehilangan arah. Semangat Merdeka Belajar yang sedang dicanangkan ini juga memperkuat tujuan pendidikan nasional yang telah dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, dimana Pendidikan diselenggarakan agar setiap individu dapat menjadi manusia yang “beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Kedua semangat ini yang kemudian memunculkan sebuah pedoman, sebuah penunjuk arah yang konsisten, dalam pendidikan di Indonesia. Pedoman tersebut adalah Profil Pelajar Pancasila (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020). Setiap bagian dalam dimensi profil pelajar Pancasila terbagi ke dalam elemen dan sub elemen. Dalam menyusun visi yang berpihak kepada murid, guru perlu menyelaraskan visi dengan dimensi profil pelajar Pancasila.


Gambar 2. Profil Pelajar Pancasila

Dalam proses mewujudkan visi yang berpihak pada murid dan selaras dengan profil pelajar Pancasila, perlu ada pemimpin yang mampu menggerakkan dan mengelola perubahan. Guru Penggerak berfokus sebagai pemimpin yang menggerakkan diri, sesama, serta lingkungan-masyarakat untuk mewujudkan sekolah yang berpihak pada murid. Untuk itulah perlu adanya nilai-nilai dan peran guru penggerak untuk mewujudkan Visi. Nilai-nilai guru penggerak yaitu: Berpihak pada murid, Reflektif, Mandiri, Kolaboratif, dan Inovatif. 

Gambar 3. Roda Nilai Guru Penggerak



Sedangkan peran guru penggerak yaitu: menjadi pemimpin pembelajaran, menjadi coach bagi guru lain, pendorong kolaborasi, mewujudkan kepemimpinan murid, dan menggerakkan  komunitas praktisi.

Gambar 4. Peran  Guru Penggerak di lingkup kelas-sekolah dan lingkungan masyarakat


Maka dari itu, guru penggerak perlu membuat visi yang berpihak pada murid, mampu mencerminkan nilai dan peran guru penggerak, serta mewujudkan profil pelajar Pancasila.

Agar visi dapat terwujud dan terjadi proses perubahan, perlu ada upaya nyata. Pendekatan IA adalah salah satu cara untuk mewujudkan VISI secara kolaboratif. Konsep IA pertama kali dikembangkan oleh David Cooperrider (Cooperrider & Whitney, 2005; Noble & McGrath, 2016). Pendekatan Inkuiri Apresiatif (IA) dikenal sebagai pendekatan manajemen perubahan yang kolaboratif dan berbasis kekuatan. IA berusaha fokus pada kekuatan yang dimiliki setiap anggota dan menyatukannya untuk menghasilkan kekuatan tertinggi. IA mengaktualisasi potensi masing-masing individu dalam kelompok menjadi kekuatan yang luar biasa dalam melakukan perubahan. 

IA dimulai dengan mengidentifkasi hal baik yang sudah ada di sekolah. mencari cara bagaimana hal tersebut dapat dipertahankan, dan memunculkan strategi untuk mewujudkan perubahan ke arah lebih baik. Tahapan dalam IA dalam bahasa Indonesia disebut dengan BAGJA (Buat Pertanyaan, Ambil Pelajaran, Gali Mimpi, Jabarkan Rencana, Atur Eksekusi).

Gambar 5. Tahapan BAGJA

Sebelum melakukan tahapan BAGJA, Visi yang telah disusun diturunkan terlebih dahulu menjadi prakarsa-prakarsa perubahan. Pernyataan prakarsa perubahan adalah gambaran upaya nyata yang memungkinkan gotong-royong dalam meningkatkan kualitas pembelajaran murid berbasis aset/kekuatan. Penyusunan Prakarsa perubahan dapat dibantu dengan model ATAP.


Gambar 6. Model ATAP

BAGJA adalah gubahan tahapan Inkuiri Apresiatif sebagai pendekatan manajemen perubahan. Dalam menerapkan perubahan sesuai dengan visi yang telah diimpikan guru perlu mengikuti tahapan BAGJA. Tahap pertama, Buat Pertanyaan Utama (Define). Di tahap ini, guru merumuskan pertanyaan sebagai penentu arah penelusuran terkait perubahan yang diinginkan atau diimpikan. Tahap kedua, Ambil Pelajaran (Discover). Pada tahapan ini, mengumpulkan berbagai pengalaman positif yang telah dicapai di kelas maupun sekolah serta pelajaran apa yang dapat diambil dari hal-hal positif tersebut. Tahap ketiga, Gali Mimpi (Dream). Pada tahapan ini, menyusun narasi tentang kondisi ideal apa yang diimpikan dan diharapkan terjadi di lingkungan pembelajaran. Disinilah visi benar-benar dirumuskan dengan jelas. Tahap ketiga, Jabarkan Rencana (Design). Di tahapan ini, merumuskan rencana tindakan tentang hal-hal penting apa yang perlu dilakukan untuk mewujudkan visi. Tahapan terakhir, Atur Eksekusi (Deliver). Di bagian ini, guru memutuskan langkah-langkah yang akan diambil, siapa yang akan diajak dan pasti mau untuk terlibat, bagaimana strateginya, dan aksi lainnya demi mewujudkan visi perlahan-lahan. Tabel berikut ini berupaya memperlihatkan rangkuman (ciri) tiap tahapan:

                                         Gambar 7. Rangkuman Tahapan BAGJA

Kekuatan BAGJA terdapat proses penggalian jawaban pertanyaan yang didasari oleh rasa ingin tahu, kebaikan, dan kebersamaan.  BAGJA, dimulai dengan filosofi dan visi yang berpusat pada kepentingan murid, kemudian diturunkan menjadi tujuan-tujuan rinci berupa prakarsa perubahan yang muncul dari keresahan. Setelah itu disusunlah pertanyaan-pertanyaan dan rencana-tindakan yang perlu-dilakukan, kemudian merealisasikan hingga mendapatkan suatu temuan (data, cerita, fakta). Temuan itulah yang menjadi dasar untuk menelaah kembali rancangan pertanyaan dan tindakan yang telah dibuat. 

Gambar 8. Proses Inkuiri Apresiatif - BAGJA


Rencana dapat dibuat hingga akhirnya dilaksanakan, dimonitoring, serta dievaluasi keselarasannya dengan visi. 

Berikut ini Kanvas BAGJA yang sudah dibuat:

https://docs.google.com/presentation/d/1B-zWuxcbrlm3zWHDQsLT3XgLsZucEbpz_s5EoLmsyxk/edit?usp=sharing


 


Revisi dan rumuskan dengan penuh keyakinan, visi yang telah Bapak/Ibu buat berdasarkan jawaban pertanyaan diatas, ke dalam sebuah VISI yang membuat Bapak/Ibu bersemangat ketika membacanya, dan menggerakkan hati setiap orang yang membacanya!

 

 Visi saya : “Mewujudkan murid yang berkarakter Pancasila”

Revisi Visi : “Terwujudnya murid yang berkarakter Pancasila”




KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 2.3 COACHING UNTUK SUPERVISI AKADEMIK

Oleh Ratri Swastika Wijayanti, M.Pd Calon Guru Penggerak Angkatan 7 Kabupaten Bantul     Di dalam Koneksi Antar Materi Modul 2.3 ini k...